covid-19-dan-budaya-baru-pembelajaran

covid-19-dan-budaya-baru-pembelajaran

covid-19-dan-budaya-baru-pembelajaran

Oleh:* Dr.H.Mulyawan Safwandy Nugraha,M.Ag.,M.Pd

Sekretaris Pascasarjana Institut Madani Nusantara (IMN) Sukabumi

Covid-19 yang saat ini melanda dunia telah memaksa kita melakukan perubahan yang radikal. Tidak terkecuali dalam bidang pendidikan dan pembelajaran. Dimulai dari kebiasaan yang sederhana seperti mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak dengan sesama, tidak bersentuhan dengan orang lain, menjaga imunitas tubuh dengan olah raga di rumah, tinggal di rumah untuk memutus rantai Covid-19, memakai masker, telah menjadi ungkapan yang sering didengar.

Ketika pemerintah secara resmi mengumumkan tentang Work from Home (Bekerja dari rumah), Learn from Home (Belajar dari rumah) dan Pray from Home (Beribadah dari rumah) secara otomatis mengubah kebiasaan dan budaya yang selama ini terjadi. Awalnya, respon masyarakat merasa senang berada di rumah, melakukan segala sesuatunya dari rumah, termasuk belajar dan mengajar. Namun lama kelamaan malah terjadi sebaliknya. Mulai muncul kejenuhan. Malah cenderung stress. Perilakunya pun menjadi tidak menentu.

Dalam bidang pendidikan, khusunya pembelajaran, wabah Covid-19 “memaksa” dan menuntut guru untuk adaptif dan lebih kreatif dalam melaksanakan tugasnya. Istilah Pembelajaran Jaraj Jauh (PJJ) yang sebelumnya menjadi konsep yang sering dibahas dalam hal Teknologi Pendidikan, kini sudah menjadi budaya baru. Penggunaan teknologi dalam pembelajaran, sebelum hadirnya Covid-19, biasanya dilakukan oleh guru yang memiliki etos pembelajar, memiliki jiwa ‘adventure’ untuk hal-hal baru dan inovatif-kreatif.

Tapi, saat ini, pegiat di bidang pendidikan diharuskan melakukan PJJ tersebut dengan baik. Guru mulai dekat dengan teknologi. Dari yang sederhana sampai yang rumit. Walau secara ideal, tidak semua PJJ dapat dilaksanakan dengan maksimal. Adanya keterbatasan dan kendala dalam pelaksanaan PJJ, merupakan kenyataan yang harus menjadi agenda perbaikan dan perubahan. Hal ini melahirkan tuntutan agar guru memiliki kompetensi di atas rata-rata. Tidak hanya sebatas cukup pada kemampuan yang standar.

Setiap pendidik, seharusnya menyadari bahwa prinsip dasar teknologi pembelajaran adalah menerapkan pendekatan sistem, menggunakan sumber belajar seluas mungkin, meningkatkan kualitas belajar manusia, dan berorientasi pada kegiatan pembelajaran individu. Keempat hal tersebut sebaiknya disosialisasikan kepada para guru agar lebih memiliki budaya tepat hasil dan tepat sasaran dalam pelaksanaan PJJ ini.

Berdasarkan pengalaman saya pribadi, termasuk dari wawancara dengan guru di berbagai tingkatan, sangat terasa bahwa PJJ ini lebih melelahkan dari pada pembelajaran tatap muka. Paling tidak, karena guru harus menyiapkan tiga hal penting dalam PJJ, yaitu: pertama, guru harus membuat bahan ajar digital. Setelah menyusun rencana pembelajaran, guru perlu membuat bahan ajar digital yang akan dikirimkan di kelas online. Kedua, guru harus memberi instruksi belajar. Instruksi belajar meliputi pembagian bahan ajar, informasi tentang apa yang harus murid lakukan, dan informasi tentang tugas dan penilaian. Pemberian instruksi sebaiknya dilakukan di kelas online. Ketiga, guru harus melakukan interaksi. Interaksi antara guru dan murid dapat berupa pemberian umpan balik oleh guru terhadap tugas murid atau diskusi tentang materi atau tugas. Aktivitas-aktivitas ini juga sebaiknyadilakukan di kelas online.

Tiga persiapan di atas, mutlak diperlukan sebelum guru melakukan PJJ. Tidak seperti biasanya, dalam pembelajaran tatap muka, sering ditemukan ada guru yang mengabaikan terhadap rencana pembelajaran, ketersediaan bahan ajar, instruksi belajarnya terkadang monoton, dan interaksinya pun tidak maksimal. Tiga budaya ini dipaksa harus dihadirkan oleh guru saat melakukan PJJ.

Guru pun sudah seharusnya membudayakan pembelajaran yang inovatif, yaitu Pembelajaran yang dirancang oleh guru, yang sifatnya baru, bertujuan untuk menfasilitasi siswa dalam membangun pengetahuan sendiri dalam rangka proses perubahan perilaku ke arah yang lebih baik sesuai dengan potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa. saat ini pengembangannya dalam bentuk blended learning, flipped classroom, game based learning, dan sole.

Selain guru, orang tua pun kebagian repotnya. Di samping harus memiki alat teknologi yang mumpuni, kuota internet yang selalu harus terisi, ditambah dengan waktu yang lebih lama tinggal di rumah bersama anak, juga kesiapan menjadi guru “pengganti” menjadi faktor yang dikeluhkan orang tua. Kesiapan orangtua /orang dewasa yang mendampingi anak daalam pembelajaran online (suasana rumah, suasana lingkungan). Peran guru dalam mengajar, dialihkan kepada orang tua di rumah. Awalnya, budaya mengajar adalah pada guru. Kini bergeser. Orang tua harus sudah siap menjadi guru “berbagai pelajaran” anak-anaknya di rumah. Hal ini “memaksa” harus dijalinnya komunikasi dan kerja sama yang baik antara guru dan orang tua. Orang tua tidak harus sungkan bertanya pada guru jika ada hal yang kurang dipahami. Budaya pembelajaran yang awalnya diserahkan sekolah (guru), sekarang orang tua ikut berperan di dalamnya.

Selain guru dan oran tua, yang harus diperhatikan juga adalah anak itu sendiri. Faktor Kondisi fisik (pengaturan waktu/jadwal pembelajaran online teratur) dan Kondisi psikologis (kejenuhan, kerinduan pada guru dan teman-teman, rindu sekolah) akan menjadi faktor-faktor yang menimbulkan stress pada anak.

Pada akhirnya, mengeluhkan hadir Covid-19 tidak akan menyelasaikan masalah pembelajaran. The show must go on!! Beberapa hal yang seharusnya menjadi budaya baru dalam pembelajaran, khusunya dalam menggunakan teknologi, yaitu: Pertama, kita sudah seharusnya mempertimbangkan karakteristik peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam setiap pembelajaran yang berlangsung. Hal ini akan meminimalisir miskomunikasi dan malpraktik dalam pembelajaran. Kedua, perlunya memperkuat minat dan motivasi pengguna (guru, orang tua dan siswa) untuk menggunakannya semata guna meningkatkan dirinya, baik dari segi intelektual, spiritual (rohani), sosial, maupun ragawi. Ketiga, harus terus ditumbuhkan kesadaran dan keyakinan akan pentingnya kegiatan berinteraksi langsung saat pembelajaran. Keempat Menjaga bahwa kelompok sasaran (siswa dan orang tua di rumah) tetap dapat mengapresiasi teknologi komunikasi yang sederhana dan kegiatan pembelajaran tanpa TIK. Kelima, Pemanfaatan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) hendaknya mendorong pengguna untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif sehingga tidak hanya puas menjadi konsumen informasi berbasis TIK.

Dalam rangka menjamin pembelajaran dengan budaya baru tersebut, maka perlu dilakukan langkah-langkah startegis, di antaranya: pertama, menanamkan pola pikir tentang cara baru belajar. Dengan perkembangan teknologi dan internet saat ini dan mungkin 10-20 tahun ke depan, proses belajar dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja tanpa ada batas ruang dan waktu. Pemerintah harus mengomunikasikan kepada masyarakat untuk menyadari tuntutan baru sistem pendidikan dalam menyiapkan lulusan menghadapi berbagai pekerjaan baru di masa depan yang tidak cukup diajarkan hanya melalui kelas formal. Pada kahirnya pemerintah harus merumuskan kurikulum yang sesuai dengan suasana perkembangan teknologi dan terjadinya wabah seperti saat ini tanpa mengurangi upaya internalisasi niali-nilai karakter dan akhlak mulia. Kedua, diperlukan regulasi yang menjamin terlaksananya PJJ di semua lini, jenjang, tempat yang bermutu dan berkeadilan. Ketiga, penguatan kompetensi teknologi pembelajaran kepada guru dan orang tua dengan senantiasa melakukan sosialisasi dan penyampaian informasi yang positif tentang urgensi implementasi teknologi dalam pembelajaran.

The post Covid -19 dan Budaya Baru Pembelajaran appeared first on YKKW.